Belajar Pada Ketangguhan Masyarakat Kelud
Memperingati terjadinya bencana memang terdengar kurang menyenangkan.
Namun khusus dalam kaitan mengenang terjadinya letusan Gunung Kelud, dan
bagaimana tanggapnya masyarakat terdampak dalam menghadapinya,
merupakan pelajaran yang tak akan pernah diperoleh di sekolah mana pun.
Mereka memang ditimpa bencana, akan tetapi mereka menerimanya sebagai
karunia di kemudian hari. Sebab, sejak jauh-jauh hari, mereka sudah
menyiapkan diri untuk menghadapi datangnya bencana itu. Jadi, kalau
ingin melihat bagaimana mereka menyambut datangnya bencana itu, simak
kisah nyata berikut ini....
|
Foto: wongkediri.net |
Setahun yang lalu, pada 13 Februari 2014,
sesuai perhitungan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG), Gunung Kelud akhirnya meletus dengan dahsyat. Dalam peristiwa
yang menakjubkan itu, Gunung Kelud memuntahkan 150 juta meter kubik
material batu, pasir, dan abu vulkanik, dalam satu hari. Letusannya
menjulang ke angkasa hingga 17 km. Abu vulkanik menutup sebagian besar
wilayah Jawa.
|
Foto: wongkediri.net |
Bayangkan, 150 juta meter kubik material vulkanik
yang dimuntahkan oleh Gunung Merapi selama sebulan, oleh Gunung Kelud
hanya disemburkan dalam sehari. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya
letusan itu. Namun anehnya, peristiwa itu terjadi ‘dengan damai’. Karena
bisa dibilang tak menimbulkan korban. Pada letusan terjadi pada malam hari. Ya, memang ada beberapa orang yang
tewas akibat letusan Gunung Kelud tersebut, tapi karena tertimpa rumah
atau akibat menderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA),
lantaran abu vulkanik.
|
Foto: wongkediri.net |
Dari peristiwa tersebut, dari sisi
penyelamatan manusia, letusan Gunung Kelud merupakan cerita sukses
tersendiri. Bayangkan, sekitar 180.000 jiwa masyarakat Kediri, Malang,
dan Blitar, berhasil dievakuasi hanya dalam waktu kurang dari 2 jam,
yaitu mulai pukul 21.15 hingga 22.50 WIB. Evakuasi berjalan dengan
tertib dan lancar. Bahkan, pasca bencana pun berlangsung kurang dari
setahun hingga kondisi kehidupan masyarakat normal kembali.
|
Foto: wongkediri.net |
Pertanyaan
besarnya: Mengapa masyarakat Kelud bisa begitu tangguh? Berikut inilah
rahasianya. Rupanya, pemerintah dan otoritas setempat, kali ini sudah
jauh lebih siap untuk menghadapi letusan Gunung Kelud, dibanding saat
letusan pada 2007. Masyarakat pun telah bersiap menghadapi letusan ini
dari jauh hari sebelumnya. Camat, kepala desa, tokoh masyarakat, TNI,
Polri, relawan, dan pengamat gunung api bersama-sama memastikan
masyarakat mengetahui apa makna informasi status gunung, yang
disampaikan secara berkala, dan apa yang harus dilakukan pada setiap
situasi.
|
Foto: wongkediri.net |
Pada 28 Desember 2013, gladi lapang evakuasi di tiga desa
KRB III di Ngancar. Gladi ini disiarkan langsung oleh RAPI dan
radio-radio komunitas ke tiga kabupaten. Informasi mengalir dari satu
sumber melalui satu saluran yang disiapkan khusus. Sehingga masyarakat
bisa menerima informasi secara satu makna, satu tafsir, tunggal.
|
Foto: simomot.com |
Respon
bencana Kelud juga menampilkan kekuatan kultural masyarakat. Masyarakat
Kelud pada dasarnya adalah masyarakat Jawa menjunjung tinggi
nilai-nilai “Hormat dan Harmoni”. Hormat dimaknai sebagai memberi respek
kepada peran setiap orang, dan sebaliknya menjalankan peran yang
diberikan dengan setia dan disiplin. Harmoni diartikan menjaga
keselarasan dengan alam dan manusia, di mana setiap orang adalah
mikrokosmos yang berperan memelihara harmoni dunia makrokosmos. Itulah
kearifan penting untuk hidup harmonis bersama alam. Para orangtua di
sana percaya, abu Gunung Kelud adalah warisan kesuburan bagi anak cucu
kelak.
Karena Tuhan memang menciptakan segala sesuatu dengan tiada yang sia-sia....
Sumber: Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar