Ilustrasi: merdeka.com |
Baleendah, Soreang, Palasari, Andir, Dayeuhkolot, dan lain-lain, semuanya banjir. |
Jatuh korban 2 orang tewas akibat puting beliung yang terjadi sebelum hujan.
Bencana hidrometeorologi tidak terjadi tiba-tiba tetapi akumulasi dan interaksi dari berbagai faktor, seperti sosial, ekonomi, degradasi lingkungan, urbanisasi, kemiskinan, tata ruang, dan lain-lain. Misal, banjir yang saat ini menggenangi daerah Dayeuhkolot, Baleendah, dan lainnya di Bandung Selatan. Banjir serupa telah terjadi sejak tahun 1931, karena wilayah tersebut adalah Cekungan Bandung, yang bentuknya seperti mangkok di DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum. Banjir serupa persis, terjadi pada 19 Februari 2014, di tempat tersebut (lihat foto). Hal yang sama, juga terjadi di banjir Bojonegoro, Tuban, Gresik, Cilacap, dan sebagainya, yang saat ini banjir.
Puting beliung yang merusak 700 rumah dan menimbulkan 2 orang tewas. Mirip tornado. |
Bertambahnya penduduk, yang akhirnya tinggal di daerah rawan bencana, adalah konsekuensi dari lemahnya implementasi tata ruang dan penegakan hukum. Kawasan industri dibangun pada daerah-daerah rawan bencana. Masyarakat dibiarkan tinggal di daerah rawan banjir dan longsor tanpa ada proteksi yang memadai. Banjir dan longsor sebenarnya adalah bencana yang dapat diminimumkan resikonya. Sebab kita sudah tahu kapan, di mana, dan apa yang harus dilakukan. Kunci utama dari semua itu adalah mitigasi struktural dan nonstructural komprehensif, penataan ruang dan penegakan hukum.
Sumber: Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar