Kamis, 18 Desember 2014

Cerita Duka dari Banjarnegara

Foto: viva.co.id
Sore itu begitu tenang. Jumat, 12 Desember 2014, rinai gerimis ditebarkan dari langit di atas Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Hujan gerimis itulah yang membuat hampir semua warga Dusun Jemblung memutuskan untuk tetap tinggal dan berkumpul di rumah masing-masing. Udara dingin serta suasana yang terasa lembab dan basah, membuat mereka memilih untuk hanya beraktivitas di dalam rumah saja. Ada yang menonton televisi, ada yang asyik dengan hpnya, ada yang menikmati minuman hangat dan makanan ringan sambil berbincang, ada yang sibuk di dapur, ada yang sedang mandi, dan ada juga yang nyenyak tidur sambil berselimut sarung. Pastinya, tidak seorang pun dari mereka yang menyangka bahwa kehidupan mereka sebentar lagi akan berubah total, ketika Bukit Telagalele yang selama ini memberi banyak hal kepada mereka, justru yang menjadi pangkal bencana buat mereka.

Arah longsoran. /Foto: Dok. BNPB
Sebenarnya sudah sejak beberapa hari, karena hujan deras yang mengguyur wilayah Banjarnegara, telah menyebabkan terjadinya longsor kecil di sana-sini. Bahkan beredar isu yang mengatakan bahwa PLTA Mrica jebol akibat debit air Sungai Serayu yang terlalu besar. Karena kejadian-kejadian itu, Pemda dan BPBD telah mengingatkan warga agar waspada terhadap bencana tanah longsor, karena seluruh wilayah Kabupaten Banjernegara adalah wilayah yang rentan longsor dengan tingkat potensi sedang hingga tinggi. Bahkan, di salah satu sisi Bukit Telagalele telah mengalami longsor, dimana pada bagian bawah lerengnya terdapat check dam. Harusnya, hal itu menjadi peringatan.

Gambaran akibat longsor. /Foto: Dok. BNPB
Pukul 17.00 WIB, di tengah ketenangan suasana yang dingin dan basah oleh gerimis itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang menggetarkan jiwa. Bumi terasa gemetar. Dan sesaat kemudian, suara gemuruh itu menerjang dalam ujud gelontoran tanah dan luncuran batu-batuan. Petaka melibas dengan begitu cepat dan tanpa ampun. Material longsoran yang tanah bercampur batu menerjang bagai air bah. Delapan rumah yang berada paling dekat dengan titik awal longsoran seketika lenyap terkubur. Lalu, sesuai hukum gravitasi, material longsoran terus meluncur deras ke arah bawah, lantas berbelok ke kiri mengikuti kemiringan lereng, mengubur ruas jalan provinsi Banjarnegara-Pekalongan dan sungai sepanjang 1 km, kemudian menerjang 35 rumah berikutnya dengan material longsorannya itu.

Alat peringatan dini longsor. /Foto: Dok. BNPB
Bencana yang menerjang hanya dalam 5 menit, dan tanpa peringatan dini, itu, telah menghancurkan dan mengubur 35 rumah yang dilaluinya, beserta sekitar 108 orang yang tak berhasil menyelamatkan diri. Begitu cepat terjadinya, dan nyaris tak terelakkan. Tapi mengapa tanpa peringatan dini? Bukankah di sana telah banyak dipasang alat peringatan dini longsor? Ternyata, sistem peringatan dini longsor itu telah ‘dibungkam’ oleh mereka sendiri, karena sering berbunyi sehingga membuat mereka ketakutan. Dan sekarang, mereka menjadi korban dari perbuatan mereka sendiri.

Alat peringatan dini longsor dan salah satu yang telah dirusak oleh warga. /Foto: Dok. BNPB
Dalam 5 menit, sebuah dusun berpenduduk 308 jiwa itu lenyap dikubur tanah longsor. Tercatat ada 53 rumah yang rusak berat atau tertimbun material longsoran, sebanyak 108 orang diperkirakan menjadi korban, sebuah masjid lenyap terkubur, 8 hektar sawah rusak, 5 hektar kebun palawija hancur, 5 ekor sapi, 30 ekor kambing, dan 500 ekor ayam serta itik tak terselamatkan. Itulah bencana. Bila dia datang, dia datang dengan begitu cepat, tak terduga, dan merenggut segala yang ada. Tanpa memandang bulu, tanpa belas kasihan, semuanya direnggut begitu saja.

Ketenangan suasana itu... ternyata berujung bencana. Dan seketika semuanya musnah....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar